Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Orde Baru hadir dengan semangat "koreksi total" atas penyimpangan yang dilakukan oleh Soekarno pada masa Orde Lama.
Orde Baru berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat meskipun hal ini terjadi bersamaan dengan praktik korupsi yang merajalela di negara ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin juga semakin melebar.
Masa Jabatan Presiden Suharto
Pada 1968, MPR secara resmi melantik Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun sebagai presiden, dan dia kemudian dilantik kembali secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998.
Politik Presiden Soeharto memulai "Orde Baru" dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya.
Salah satu kebijakan pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia menjadi anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19 September 1966mengumumkan bahwa Indonesia "bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB", dan menjadi anggota PBB kembali pada tanggal 28 September 1966, tepat 16 tahun setelah Indonesia diterima pertama kalinya.
Pada tahap awal, Soeharto menarik garis yang sangat tegas. Orde Lama atau Orde Baru. Pengucilan politik - di Eropa Timur sering disebut lustrasi - dilakukan terhadap orang-orang yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia. Sanksi kriminal dilakukan dengan menggelar Mahkamah Militer Luar Biasauntuk mengadili pihak yang dikonstruksikan Soeharto sebagai pemberontak. Pengadilan digelar dan sebagian dari mereka yang terlibat "dibuang" ke Pulau Buru.
Sanksi nonkriminal diberlakukan dengan pengucilan politik melalui pembuatan aturan administratif. Instrumen penelitian khusus diterapkan untuk menyeleksi kekuatan lama ikut dalam gerbong Orde Baru. KTP ditandai ET (eks tapol).
Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer. DPR dan MPR tidak berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan seringkali dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka yang dekat dengan Cendana. Hal ini mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat. Pembagian PAD juga kurang adil karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus disetor kepada Jakarta, sehingga melebarkan jurang pembangunan antara pusat dan daerah.
Soeharto siap dengan konsep pembangunan yang diadopsi dari seminar Seskoad II 1966 dan konsep akselerasi pembangunan II yang diusung Ali Moertopo. Soeharto merestrukturisasi politik dan ekonomi dengan dwitujuan, bisa tercapainya stabilitas politik pada satu sisi dan pertumbuhan ekonomi di pihak lain. Dengan ditopang kekuatan Golkar, TNI, dan lembaga pemikir serta dukungan kapital internasional, Soeharto mampu menciptakan sistem politik dengan tingkat kestabilan politik yang tinggi.
Eksploitasi sumber daya Selama masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini, dan pengeksploitasian sumber daya alam secara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak merata di Indonesia. Contohnya, jumlah orang yang kelaparan dikurangi dengan besar pada tahun 1970-an dan 1980-an.
Warga Tionghoa Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsaisecara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan sama sekali akan berdampak pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan bahasa Mandarin. Mereka pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahan Indonesia.
Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa orang Tionghoa Indonesia bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah.
Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan.
Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilih untuk menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.
Konflik Perpecahan Pasca Orde Baru Di masa Orde Baru pemerintah sangat mengutamakan persatuan bangsa Indonesia. Setiap hari media massa seperti radio dan televisi mendengungkan slogan "persatuan dan kesatuan bangsa". Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah adalah meningkatkan transmigrasi dari daerah yang padat penduduknya seperti Jawa, Bali dan Madura ke luar Jawa, terutama ke Kalimantan, Sulawesi, Timor Timur, dan Irian Jaya. Namun dampak negatif yang tidak diperhitungkan dari program ini adalah terjadinya marjinalisasi terhadap penduduk setempat dan kecemburuan terhadap penduduk pendatang yang banyak mendapatkan bantuan pemerintah. Muncul tuduhan bahwa program transmigrasi sama dengan jawanisasi yang sentimen anti-Jawa di berbagai daerah, meskipun tidak semua transmigran itu orang Jawa.
Pada awal Era Reformasi konflik laten ini meledak menjadi terbuka antara lain dalam bentuk konflik Ambon dan konflik Madura-Dayak di Kalimantan.[1] Sementara itu gejolak di Papua yang dipicu oleh rasa diperlakukan tidak adil dalam pembagian keuntungan pengelolaan sumber alamnya, juga diperkuat oleh ketidaksukaan terhadap para transmigran.
Kelebihan sistem Pemerintahan Orde Baru
§ Sukses swasembada pangan
§ Pengangguran minimum
§ Sukses REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)
§ Sukses Gerakan Wajib Belajar
§ Sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh
§ Sukses keamanan dalam negeri
§ Investor asing mau menanamkan modal di Indonesia
§ Sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri
Kekurangan Sistem Pemerintahan Orde Baru
§ Semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme
§ Pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan antara pusat dan daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah sebagian besar disedot ke pusat
§ Munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan, terutama di Aceh dan Papua
§ Kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran yang memperoleh tunjangan pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun pertamanya
§ Bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya dan si miskin)
§ Pelanggaran HAM kepada masyarakat non pribumi (terutama masyarakat Tionghoa)
§ Kritik dibungkam dan oposisi diharamkan
§ Kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang dibredel
§ Penggunaan kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan program "Penembakan Misterius"
§ Tidak ada rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintah/presiden selanjutnya)
§ Menurunnya kualitas birokrasi Indonesia yang terjangkit penyakit Asal Bapak Senang, hal ini kesalahan paling fatal Orde Baru karena tanpa birokrasi yang efektif negara pasti hancur.
§ Menurunnya kualitas tentara karena level elit terlalu sibuk berpolitik sehingga kurang memperhatikan kesejahteraan anak buah.
§ Pelaku ekonomi yang dominan adalah lebih dari 70% aset kekayaaan negara dipegang oleh swasta
Krisis finansial Asia
Pada pertengahan 1997, Indonesia diserang krisis keuangan dan ekonomi Asia (untuk lebih jelas lihat: Krisis finansial Asia), disertai kemarau terburuk dalam 50 tahun terakhir dan harga minyak, gas dan komoditas ekspor lainnya yang semakin jatuh. Rupiah jatuh, inflasi meningkat tajam, dan perpindahan modal dipercepat. Para demonstran, yang awalnya dipimpin para mahasiswa, meminta pengunduran diri Soeharto. Di tengah gejolak kemarahan massa yang meluas, Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, tiga bulan setelah MPR melantiknya untuk masa bakti ketujuh. Soeharto kemudian memilih sang Wakil Presiden, B. J. Habibie, untuk menjadi presiden ketiga Indonesia.
Pasca-Orde Baru
Mundurnya Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998 dapat dikatakan sebagai tanda akhirnya Orde Baru, untuk kemudian digantikan "Era Reformasi". Masih adanya tokoh-tokoh penting pada masa Orde Baru di jajaran pemerintahan pada masa Reformasi ini sering membuat beberapa orang mengatakan bahwa Orde Baru masih belum berakhir. Oleh karena itu Era Reformasi atau Orde Reformasi sering disebut sebagai "Era Pasca Orde Baru".
Meski diliputi oleh kerusuhan etnis dan lepasnya Timor Timur, transformasi dari Orde Baru ke Era Reformasi berjalan relatif lancar dibandingkan negara lain seperti Uni Soviet dan Yugoslavia. Hal ini tak lepas dari peran Habibie yang berhasil meletakkan pondasi baru yang terbukti lebih kokoh dan kuat menghadapi perubahan zaman.
Penyimpangan-Penyimpangan yang Dilakukan Pemerintahan Orde Baru
Penyimpangan-Penyimpangan yang Dilakukan Pemerintahan Orde Baru, yaitu :
a. Pemilihan umum yang tidak jujur
b. Monoloyalitas, pengekangan kebebasan berpolitik bagi pegawai negeri sipil untuk mendukung partai politik tertentu.
c. Interpensi pemerintahan terhadap lembaga peradilan.
d. Pengekangan kebebasan mengemukakan pendapat (penculikan para aktivis).
e. Format politik yang tidak demokratis.
f. Maraknya praktik KKN.
g. Pembatasan partai politik.
h. Pembatasan kebebasan pers.
Norma-Norma Demokrasi, antara lain :
a. Adanya kebebasan yang harus disertai dengan tanggung jawab baik terhadap masyarakat, bangsa maupun terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
b. Menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia.
c. Menjamin dan memperkokoh persatuan dan kesatuan dalam kehidupan bersama.
d. Mengakui perbedaan individu, kelompok, ras suku, agama, karena merupakan suatu bawaan kodrat manusia.
e. Mengakui adanya persamaan hak yang melekat pada setiap individu, kelompok, ras, suku, dan agama.
f. Mengarahkan perbedaan dalam suatu kerjasama kemanusiaan yang beradab.
g. Menjunjung tinggi atas masyarakat sebagai moral kemanusiaan yang beradb.
h. Mewujudkan dan mendasarkan suatu keadilan dalam kehidupan social agar tercapai tujuan bersama.
a. Pemilihan umum yang tidak jujur
b. Monoloyalitas, pengekangan kebebasan berpolitik bagi pegawai negeri sipil untuk mendukung partai politik tertentu.
c. Interpensi pemerintahan terhadap lembaga peradilan.
d. Pengekangan kebebasan mengemukakan pendapat (penculikan para aktivis).
e. Format politik yang tidak demokratis.
f. Maraknya praktik KKN.
g. Pembatasan partai politik.
h. Pembatasan kebebasan pers.
Norma-Norma Demokrasi, antara lain :
a. Adanya kebebasan yang harus disertai dengan tanggung jawab baik terhadap masyarakat, bangsa maupun terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
b. Menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia.
c. Menjamin dan memperkokoh persatuan dan kesatuan dalam kehidupan bersama.
d. Mengakui perbedaan individu, kelompok, ras suku, agama, karena merupakan suatu bawaan kodrat manusia.
e. Mengakui adanya persamaan hak yang melekat pada setiap individu, kelompok, ras, suku, dan agama.
f. Mengarahkan perbedaan dalam suatu kerjasama kemanusiaan yang beradab.
g. Menjunjung tinggi atas masyarakat sebagai moral kemanusiaan yang beradb.
h. Mewujudkan dan mendasarkan suatu keadilan dalam kehidupan social agar tercapai tujuan bersama.
Perbandingan Politik Orde Lama dengan Politik Orde Baru
Selama hampir 57 tahun sebagai bangsa merdeka kita dihadapkan pada panggung sejarah perpolitikan dan ketatanegaraan dengan dekorasi, setting, aktor, maupun cerita yang berbeda-beda. Setiap pentas sejarah cenderung bersifat ekslusif dan Steriotipe. Karena kekhasannya tersebut maka kepada setiap pentas sejarah yang terjadi dilekatkan suatu atribut demarkatif, seperti ORDE LAMA, ORDE BARU dan kini ORDE REFORMASI.
Karena esklusifitas tersebut maka sering terjadi pandangan dan pemikiran yang bersifat apologetik dan keliru bahwa masing-masing Orde merefleksikan tatanan perpolitikan dan ketatanegaraan yang sama sekali berbeda dari Orde sebelumnya dan tidak ada ikatan historis sama sekali
Orde Baru lahir karena adanya Orde Lama, dan Orde Baru sendiri haruslah diyakini sebagai sebuah panorama bagi kemunculan Orde Reformasi. Demikian juga setelah Orde Reformasi pastilah akan berkembang pentas sejarah perpolitikan dan ketatanegaraan lainnya dengan setting dan cerita yang mungkin pula tidak sama.
Dari perspektif ini maka dapat dikatakan bahwa Orde Lama telah memberikan landasan kebangsaan bagi perkembangan bangsa Indonesia. Sementara itu Orde Baru telah banyak memberikan pertumbuhan wacana normatif bagi pemantapan ideologi nasional, terutama melalui konvergensi nilai-nilai sosial-budaya (Madjid,1998) Orde Reformasi sendiri walaupun dapat dikatakan masih dalam proses pencarian bentuk, namun telah menancapakan satu tekad yang berguna bagi penumbuhan nilai demokrasi dan keadilan melalui upaya penegakan supremasi hukum dan HAM. Nilai-nilai tersebut akan terus di Justifikasi dan diadaptasikan dengan dinamika yang terjadi.
Dalam arti ini, apa yang disuarakan Soekarno tentang ‘negara kebangsaan’ di tahun 1945 tidak berbeda jauh dengan konsep ‘pembangunan bangsa’ yang digelorakan orde baru hingga (orde) reformasi sekarang ini. Karena itu benar bahwa pembangunan yang digiatkan dalam orde reformasi dan selama orde baru merupakan mata rantai dari perjuangan menuju pintu gerbang kemerdekaan yang digelorakan Soekarno ketika bersama para pemuda menyatakan kemerdekaan bangsa ini. Perjuangan menuju pintu gerbang ini bertali temali dengan landasan persatuan yang ditonggaki Budi Utomo. Seterusnya semangat Budi Utomo ini ditiupi oleh nafas yang ada dalam dada para pahlawan yang menentang penjajah.
Masing-masing era, kurun waktu, orde, karena itu, tidak terlepas satu sama lain dan saling mengeksklusifkan. Setiap orde, kurun, waktu, masa itu kerap diterima sebagai babak baru yang lahir sebagai reaksi sekaligus koreksi terhadap orde sebelumnya. Semangat Budi Utomo digelorakan kembali oleh Soekarno melalui proklamasi kemerdekaan dan orde lama. Berjalan di luar rel, orde lama kemudian diganti dengan orde baru. Kendati banyak ketimpangan, harus diakui bahwa orde lama merupakan anak zaman pada masanya.
Tesis politik yang dicetuskan orde baru di awal kelahirannya sangat jelas, yakni demokratisasi politik di samping perbaikan ekonomi. Tesis inilah yang meromantisasikan perlawanan sosial menentang sistem politik yang tidak demokratis dan sistem ekonomi yang hancur-hancuran di zaman orde lama. Gilang gemilang hasil pembangunan orde baru memang sungguh menakjubkan. Masyarakat di bawah orde baru telah berkembang sangat pesat. Namun harus diterima bahwa perkembangan itu adalah perkembangan elitis dalam sistem politik yang tunggal dan monolitik. Pilihan model pembangunan yang bercorak teknokratis yang secara sengaja memperlemah kekuatan politik non negara untuk menghindari bargaining politik kemudian melahirkan begitu banyak ketimpangan dalam orde baru. Karena itulah ketika desakan arus bawah semakin kuat dan dengan didorong hasrat mau maju, orde baru kemudian ditentang. Orde yang berjalan lebih dari tiga dasawarsa ini kemudian tumbang dan lahirlah orde yang lebih lazim disebut sebagai (orde) reformasi
PERBANDINGAN PELAKSANAAN PEMILU ORDE LAMA, ORDE BARU DAN REFORMASI
I.PENGERTIAN PEMILU
Dari berbagai sudut pandang, banyak pengertian mengenai pemilihan umum. Tetapi intinya adalah pemilihan umum merupakan sarana untuk mewujudkan asas kedaulatan di tangan rakyat sehingga pada akhirnya akan tercipta suatu hubungan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dan, ini adalah inti kehidupan demokrasi.
Pemilu dapat dipahami juga sebagai berikut:- Dalam undang-undang nomor 3 tahun 1999 tentang pemilihan umum dalam bagian menimbang butir a sampai c disebutkan:
- Bahwa berdasarkan undang-undang dasar 1945, negara republik indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat;
- Bahwa pemilihan umum merupakan sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam rangka keikutsertaan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan negara
- Bahwa pemilihan umum umum bukan hanya bertujuan untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk dalam lembaga Permusyawaratan/Perwakilan, melainkan juga merupakan suatu sarana untuk mewujudkan penmyusunan tata kehidupan Negara yang dijiwai semangat Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Demikian juga dalam bab I ketentuan umum pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa: "pemilihan umum adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam negara kesatuan republik indonesia yang berdasarkan pancasila dan undang-undangn 1945.
PemilihanUmum, selanjutnyadisebutPemilu, adalahsaranapelaksanaankedaulatanrakyatyang dilaksanakansecaralangsung, umum, bebas, rahasia, jujur, danadildalamNegara KesatuanRepublikIndonesia berdasarkanPancasiladanUndang-UndangDasarNegara RepublikIndonesia Tahun1945.
AsasPemilu: Pemiludilaksanakansecaraefektifdanefisienberdasarkanasaslangsung, umum, bebas, rahasia, jujur, danadil.
II. SISTEM PEMILU
A. Sistem perwakilan distrik (single member constituency)
Sistem distrik merupakan sistem pemilu yang paling tua dan didasarkan pada persatuan geografis, dimana satu kesatuan geografis mempunyai satu wakil di parlemen.
B.Sistem Proporsional
Sistem Proporsional adalah seluruh wilayah merupakan satu kesatuan. Jadi seperti partai kecil yang memiliki suara di Papua, Kalimantan, dan lain-lain, bisa dijumlahkan, sehingga Sistem Proporsional memungkinkan partai-partai kecil berkiprah di parlemen. Jika mereka kalah di wilayah pemilihan tertentu, partai-partai kecil tidak otomatis gugur, karena masih ada akumulasi suara sisa yang memungkinkan mereka memperoleh kursi di DPR.
C.sistem gabunganSistem Gabungan merupakan sistem yang menggabungkan sistem distrik dengan proporsional
III. PEMILU ORDE LAMA
Pada masa sesudah kemerdekaan, Indonesia menganut sistem multi partai yang ditandai dengan hadirnya 25 partai politik. Hal ini ditandai dengan Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945 dan Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945. Menjelang Pemilihan Umum 1955 yang berdasarkan demokrasi liberal bahwa jumlah parpol meningkat hingga 29 parpol dan juga terdapat peserta perorangan.
Pada masa diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sistem kepartaian Indonesia dilakukan penyederhanaan dengan Penpres No. 7 Tahun 1959 dan Perpres No. 13 Tahun 1960 yang mengatur tentang pengakuan, pengawasan dan pembubaran partai-partai. Kemudian pada tanggal 14 April 1961 diumumkan hanya 10 partai yang mendapat pengakuan dari pemerintah, antara lain adalah sebagai berikut: PNI, NU, PKI, PSII, PARKINDO, Partai Katholik, PERTI MURBA dan PARTINDO. Namun, setahun sebelumnya pada tanggal 17 Agustus 1960, PSI dan Masyumi dibubarkan. Dengan berkurangnya jumlah parpol dari 29 parpol menjadi 10 parpol tersebut, hal ini tidak berarti bahwa konflik ideologi dalam masyarakat umum dan dalam kehidupan politik dapat terkurangi. Untuk mengatasi hal ini maka diselenggarakan pertemuan parpol di Bogor pada tanggal 12 Desember 1964 yang menghasilkan "Deklarasi Bogor."
Tokoh partai PNI
- Dr. Tjipto Mangunkusumo
- Mr. Sartono
- Mr Iskaq Tjokrohadisuryo
- Mr Sunaryo
- Soekarno
- Moh. Hatta
- Gatot Mangkuprojo
- Soepriadinata
- Maskun Sumadiredja
- Amir Sjarifuddin
- Wilopo
- Ali Sastroamidjojo
- Djuanda Kartawidjaja
- Mohammad Isnaeni
- Supeni
- Sanusi Hardjadinata
- Sukmawati Soekarno
- Agus Supartono Supeni
Tokoh Partai Masyumi
- KH Hasyim Asy'arie
- KH Wahid Hasjim,
- Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka),
- Muhammad Natsir,
- Syafrudin Prawiranegara,
- Mr. Mohammad Roem,
- KH. Dr. Isa Anshari,
- Kasman Singodimedjo,
- Dr. Anwar Harjono,
Tokoh Partai NU
1. Syeikh Nawawi al-Bantani
2. Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari
3. Syeikh Sulaiman ar-Rasuli al-Minangkabawi
4. Syeikh Ahmad Khatib Sambas
5. Syeikhona Kholil Bangkalan
6. Kyai Abdullah Termas
7. KH. Hasyim As'ari
8. KH. Wahab Hasbullah
9. KH. Bisri Syamsuri
10. KH. Wahid Hasyim
11. KH. Ahmad Siddiq
12. KH. As'ad Syamsul Arifin
13. KH Saifuddin Zuhri
14. KH. Maksum Ali
15. KH. Zainul Arifin
16. KH TURAICHAN KUDUS
17. KH Agus Maksum Jauhari
18. KH. Bisri Mustafa
19. KH. Asnawi Kudus
20. KH. Abbas Djamil Buntet
Tokoh partai PKI
Mr. Amir Syarifuddin, Maruto Darusma, Tan Ling Djie, Abdulmajid ,Muso,dan Setiadjit
Pemilu 1955
mendapatkan suara yang signifikan dalam percaturan politik pada masa itu. Masyumi
menjadi partai Islam terkuat, dengan menguasai 20,9 persen suara dan menang di 10 dari 15 daerah pemilihan, termasuk Jakarta Raya, Jawa Barat, Sumatera Selatan, Sumatera Tengah, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara Selatan, dan Maluku. Namun, di Jawa Tengah, Masyumi
hanya mampu meraup sepertiga dari suara yang diperoleh PNI, dan di Jawa Timur setengahnya. Kondisi ini menyebabkan hegemoni penguasaan Masyumi
secara nasional tak terjadi.Berikut hasil Pemilu 1955:
- Partai Nasional Indonesia (PNI) - 8,4 juta suara (22,3%)
- Masyumi - 7,9 juta suara (20,9%)
- Nahdlatul Ulama - 6,9 juta suara (18,4%)
- Partai Komunis Indonesia (PKI) - 6,1 juta suara (16%)
Kelebihan sistem Pemerintahan Orde Baru
- perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan pada 1996 telah mencapai lebih dari AS$1.000
- sukses transmigrasi
- sukses KB
- sukses memerangi buta huruf
- sukses swasembada pangan
- pengangguran minimum
- sukses REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)
- sukses Gerakan Wajib Belajar
- sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh
- sukses keamanan dalam negeri
- Investor asing mau menanamkan modal di Indonesia
- sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri
Kekurangan Sistem Pemerintahan Orde Baru
- semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme
- pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan antara pusat dan daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah sebagian besar disedot ke pusat
- munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan, terutama di Aceh dan Papua
- kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran yang memperoleh tunjangan pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun pertamanya
- bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya dan si miskin)
- kritik dibungkam dan oposisi diharamkan
- kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang dibreidel
- penggunaan kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan program "Penembakan Misterius" (petrus)
- tidak ada rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintah/presiden selanjutnya)
Pasca-Orde Baru
Mundurnya Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998 dapat dikatakan sebagai tanda akhirnya Orde Baru, untuk kemudian digantikan "Era Reformasi".Masih adanya tokoh-tokoh penting pada masa Orde Baru di jajaran pemerintahan pada masa Reformasi ini sering membuat beberapa orang mengatakan bahwa Orde Baru masih belum berakhir. Oleh karena itu Era Reformasi atau Orde Reformasi sering disebut sebagai "Era Pasca Orde Baru".
Pemilu di Masa Reformasi
Berakhirnya rezim Orde Baru, telah membuka peluang guna menata kehidupan demokrasi. Reformasi politik, ekonomi dan hukum merupakan agenda yang tidak bisa ditunda. Demokrasi menuntut lebih dari sekedar pemilu. Demokrasi yang mumpuni harus dibangun melalui struktur politik dan kelembagaan demokrasi yang sehat. Namun nampaknya tuntutan reformasi politik, telah menempatkan pelaksanan pemilu menjadi agenda pertama.
Pemilu pertama di masa reformasi hampir sama dengan pemilu pertama tahun 1955 diwarnai dengan kejutan dan keprihatinan. Pertama, kegagalan partai-partai Islam meraih suara siginifikan. Kedua, menurunnya perolehan suara Golkar. Ketiga, kenaikan perolehan suara PDI P. Keempat, kegagalan PAN, yang dianggap paling reformis, ternyata hanya menduduki urutan kelima. Kekalahan PAN, mengingatkan pada kekalahan yang dialami Partai Sosialis, pada pemilu 1955, diprediksi akan memperoleh suara signifikan namun lain nyatanya.
Walaupun pengesahan hasil Pemilu 1999 sempat tertunda, secara umum proses pemilu multi partai pertama di era reformasi jauh lebih Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia (Luber) serta adil dan jujur dibanding masa Orde Baru. Hampir tidak ada indikator siginifikan yang menunjukkan bahwa rakyat menolak hasil pemilu yang berlangsung dengan aman. Realitas ini menunjukkan, bahwa yang tidak mau menerima kekalahan, hanyalah mereka yang tidak siap berdemokrasi, dan ini hanya diungkapkan oleh sebagian elite politik, bukan rakyat.
Pemilu 2004, merupakan pemilu kedua dengan dua agenda, pertama memilih anggota legislatif dan kedua memilih presiden. Untuk agenda pertama terjadi kejutan, yakni naiknya kembali suara Golkar, turunan perolehan suara PDI-P, tidak beranjaknya perolehan yang signifikan partai Islam dan munculnya Partai Demokrat yang melewati PAN. Dalam pemilihan presiden yang diikuti lima kandidat (Susilo Bambang Yudhoyono, Megawati Soekarno Putri, Wiranto, Amin Rais dan Hamzah Haz), berlangsung dalam dua putaran, telah menempatkan pasangan SBY dan JK, dengan meraih 60,95 persen.
Berakhirnya rezim Orde Baru, telah membuka peluang guna menata kehidupan demokrasi. Reformasi politik, ekonomi dan hukum merupakan agenda yang tidak bisa ditunda. Demokrasi menuntut lebih dari sekedar pemilu. Demokrasi yang mumpuni harus dibangun melalui struktur politik dan kelembagaan demokrasi yang sehat. Namun nampaknya tuntutan reformasi politik, telah menempatkan pelaksanan pemilu menjadi agenda pertama.
Pemilu pertama di masa reformasi hampir sama dengan pemilu pertama tahun 1955 diwarnai dengan kejutan dan keprihatinan. Pertama, kegagalan partai-partai Islam meraih suara siginifikan. Kedua, menurunnya perolehan suara Golkar. Ketiga, kenaikan perolehan suara PDI P. Keempat, kegagalan PAN, yang dianggap paling reformis, ternyata hanya menduduki urutan kelima. Kekalahan PAN, mengingatkan pada kekalahan yang dialami Partai Sosialis, pada pemilu 1955, diprediksi akan memperoleh suara signifikan namun lain nyatanya.
Walaupun pengesahan hasil Pemilu 1999 sempat tertunda, secara umum proses pemilu multi partai pertama di era reformasi jauh lebih Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia (Luber) serta adil dan jujur dibanding masa Orde Baru. Hampir tidak ada indikator siginifikan yang menunjukkan bahwa rakyat menolak hasil pemilu yang berlangsung dengan aman. Realitas ini menunjukkan, bahwa yang tidak mau menerima kekalahan, hanyalah mereka yang tidak siap berdemokrasi, dan ini hanya diungkapkan oleh sebagian elite politik, bukan rakyat.
Pemilu 2004, merupakan pemilu kedua dengan dua agenda, pertama memilih anggota legislatif dan kedua memilih presiden. Untuk agenda pertama terjadi kejutan, yakni naiknya kembali suara Golkar, turunan perolehan suara PDI-P, tidak beranjaknya perolehan yang signifikan partai Islam dan munculnya Partai Demokrat yang melewati PAN. Dalam pemilihan presiden yang diikuti lima kandidat (Susilo Bambang Yudhoyono, Megawati Soekarno Putri, Wiranto, Amin Rais dan Hamzah Haz), berlangsung dalam dua putaran, telah menempatkan pasangan SBY dan JK, dengan meraih 60,95 persen.